BERBISNIS DENGAN HATI

Sejak kecil, Gideon Hartono-- pemilik jaringan apotek waralaba K-24 asal Yogyakarta ini sudah bercita-cita ingin menjadi dokter. Namun, setelah jadi dokter, Gideon justru beralih profesi sebagai pengusaha. Ia bahkan sukses mengembangkan bisnis apotek waralaba-- yang baru-baru ini mendapat penghargaan dari Museum Rekor Indonesia (MURI)-- sebagai apotek jaringan pertama di Indonesia yang buka 24 jam nonstop setiap hari!

Ternyata, pilihan untuk berbisnis dilatarbelakangi oleh kekecewaannya tidak bisa mengambil program dokter spesialis di almamaternya, Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada, lantaran statusnya WNI keturunan China. Padahal, menjadi dokter spesialis adalah impian hampir semua dokter, termasuk dirinya. Menyadari karir dokternya tidak mungkin berkembang lebih tinggi dari dokter umum, pria kelahiran Yogyakarta 10 Oktober 1963 pun mulai menggeluti bisnis, sambil tetap praktik sebagai dokter di Puskesmas Gondokusuman II, kota Yogyakarta.

"Di era tahun 80-an, bukan perkara mudah bagi seorang WNI keturunan China seperti saya ini, bisa kuliah di Fakultas Kedokteran sebuah perguruan tinggi negeri (PTN), apalagi mengambil program dokter spesialis. Jika tidak, itu artinya karir saya mentok, hanya sebagai dokter umum," kata alumnus FK UGM dalam percakapan dengan Suara Karya di kantor perwakilan Apotek K-24 di Jakarta, Jumat (23/6).

Tak ingin berlama-lama meratapi sikap diskriminatif semacam itu, Gideon pun akhirnya memilih bisnis sebagai ladang hidupnya, sambil tetap menjalankan cita-citanya sebagai seorang dokter. Bisnis yang dikembangkan tak jauh-jauh dari hobi yang digelutinya sejak remaja, yaitu usaha fotografi.

Berbekal tabungan dari hasil menang lomba-lomba foto, pria kelahiran Yogyakarta 10 Oktober 1963 itu pun membuka usaha fotografi bernama Agatha Foto. "Sore hari sepulang dari praktik di Puskesmas, saya langsung ke Agatha Foto yang kesehariannya dipegang adik saya, Tulus Benyamin. Waktu itu saya benar-benar tidak mengenal kata capek bekerja dari pagi hingga malam hari," kata Gideon mengenang masa lalunya.

Usaha yang dilakukan dengan kesungguhan hati memang selalu berbuah manis. Usaha yang dirintisnya dari sebuah garasi itu, kini tidak saja melayani fotografi tetapi juga video shooting untuk perkawinan dan rumah produksi (production house). Ia bahkan mendirikan Gardu AD--perusahaan iklan yang banyak memproduksi iklan untuk televisi.

"Saya tidak lagi pegang Agatha Video. Pengelolaannya sudah saya serahkan ke adik saya Tulus Benyamin," ujar Gideon yang sedang cuti dari PNS 3 tahun.

Ditanyakan kenapa tidak ambil peluang kuliah spesialis di perguruan tinggi lain di luar Yogyakarta, Gideon menuturkan, waktu itu ia tidak punya pilihan. Karena keterbatasan ekonomi keluarga yang membuat dirinya tidak mungkin mengambil dokter spesialis, di luar tanah kelahirannya Yogyakarta.

"Saya ini lahir dari keluarga sederhana. Orangtua saya hanyalah pembuat kue moci, yang bila musim hujan, dagangannya sering tak terjual. Jadi, begitu tahu saya tidak bisa masuk program dokter spesialis di UGM, hanya karena saya ke-turunan China, saya bersikap pasrah saja. Sementara kuliah di luar kota Yogya tidak mungkin, karena ekonomi keluarga sangat terbatas," kata anak ke-lima dari tujuh bersaudara dari pasangan Hadi Purnomo dan Linawati itu.

Kendati pernah menderita akibat praktek diskriminatif, Gideon tampaknya tidak dendam. Dalam menjalankan bisnisnya, ia berusaha keras untuk pembauran. Hal itu terlihat dari filosofi logo apotek K-24 yang dibuat unik dengan kombinasi warna hijau, merah, kuning dan putih.

"Itu merupakan gambaran kondisi riil bangsa Indonesia yang multiras, agama, bahasa, dan lain-lain. Warna hijau yang banyak mendominasi melambangkan Islam. Merah melambangkan Kristen. Kuning mewakili agama lain yang minoritas. Ketiga warna itu bila digabungkan ternyata menghasilkan komposisi yang indah. Itulah yang ingin saya praktikkan dalam bisnis apotek," ungkapnya bersemangat.

Siapa pun terwaralaba K-24 harus menyetujui filosofi keragaman dan antidiskriminasi dari Gideon ini. "Kalau ada terwaralaba Katolik bilang pekerjanya harus seagama dengannya, wah, enggak itu. Saya enggak butuh duitnya, kok," tegasnya.

Maka, toleransi beragama di kalangan K-24 begitu tinggi. Ada salah satu terwaralaba muslim yang memilih apoteker Kristen dan beretnis China. Padahal, ketika K-24 mengajukan empat calon, ada dua yang Islam. "Prinsip saya jangan diskriminasi. Jadi, kita saling belajar dan jangan ada prasangka," ucap Gideon kalem.

Pria yang pernah mencalonkan diri sebagai bakal calon (balon) Wakil Walikota Yogyakarta itu menuturkan, apotek K-24 lahir dari kesulitannya mencari obat di malam hari dan di hari libur. Kalaupun obatnya ada, harganya pasti jauh lebih mahal dibanding biasanya.

"Kondisi itu jelas merugikan konsumen. Karena sangat butuh obat itu, maka konsumen akan membayar harga obat berapapun yang diminta apotik. Ini bisnis yang tidak adil," kata Gideon.

Buka Nonstop

Belajar dari pengalaman itu, istri dari Drg Inge Santoso Sp Ort itupun mendirikan Apotek K-24 di Yogyakarta. K-24 merupakan singkatan dari komplet 24 jam. Apotek tersebut buka 24 jam dengan tiga shift, yaitu pukul 07.30-15.30, pukul 15.00-22.00, dan pukul 21.30-07.30

Gideon mengaku tak sempat mengadakan riset pasar lebih dulu. Dia cuma mengandalkan naluri bisnisnya, bahwa warga Kota Yogya masih memerlukan apotek yang melayani mereka 24 jam nonstop. Meski demikian, gerai pertama apotek K-24, yang cuma mengandalkan naluri itu, memaksa Gideon merogoh simpanannya senilai Rp 400 juta.

Tiga bulan pertama, sambutan masyarakat biasa-biasa saja. Memasuki tiga bulan kedua, naluri bisnis Gideon terbukti hebat. Pengunjung apotek yang sejak dibuka tak pernah tutup sampai sekarang itu -- tak peduli Lebaran, Natal, Tahun Baru dan hari-hari besar nasional -- terus bertambah dari hari ke hari. Keberhasilan apotek pertama yang berdiri apik di Jl Magelang, Yogya itu memacu Gideon untuk membuka gerai berikutnya di tempat lain.

Pada 24 Maret 2003 gerai kedua K-24 berdiri di Jl Gejayan. Lalu, pada 24 Agustus 2003 gerai yang ketiga di Jl Kaliurang dibuka. Jadi, ketiganya masih di Yogya. Pada 24 Februari 2005 gerai K-24 memasuki Kota Semarang, Jawa Tengah. Ayah dua anak ini memang menyukai angka 24. Seain untuk nama jaringan apoteknya, pembukaan setiap gerai dilakukan setiap tanggal 24.

Beberapa waktu lalu, Gideon mendapat penghargaan dari MURI karena K-24 menjadi jaringan apotek pertama yang sejak dibuka hingga sekarang tidak pernah tutup. Harga obatnya pun tidak berubah, baik siang maupun tengah malam. Untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan, mulai pukul 23.00 orang cuma bisa membeli obat di K-24 dari luar, lewat lubang pintu khusus.

Kini, apotek yang menyerap 90-an tenaga kerja ini menyediakan 5 ribu item obat, rata-rata transaksi 350-500 kali tiap bulan, dengan omset Rp 250-300 juta per gerai.

Gideon mengaku hanya mau membeli obat dari distributor resmi atau obat yang ada fakturnya. "Sebenarnya saya banyak mendapat tawaran obat ilegal yang harganya sangat murah, tapi saya tidak mau mengambilnya karena asalnya tidak jelas.

Ia mengaku mengambil margin 17 persen-25 persen dari obat yang dijajakannya, meski dari distributor ada peluang mendapatkan laba 20 persen-40 persen," ujarnya.

Gideon berniat memperluas jaringan apotek K-24 hingga menjangkau semua kota di Jawa lewat sistem waralaba. Ada beberapa yang sudah melamar, tapi yang benar-benar siap buka tahun ini baru dua, satu di Yogya, satunya lagi di Surabaya. Untuk memperoleh waralaba, investor harus menyediakan dana Rp 300-600 juta. Itu bagi yang pemula.

"Bagi investor yang sudah memiliki bisnis apotek tapi kurang berkembang dan ingin bergabung dengan jaringan K-24, tentu investasinya lebih kecil," tutur Gideon seraya menyebutkan target tahun depan K-24 bakal menambah gerainya menjadi 40 biji. Hingga 2010 nanti, Apotek K-24 menargetkan bisa tumbuh 500 gerai di seluruh Indonesia via sistem waralaba.

Gideon mengakui, membuka usaha apotek tidaklah sulit. Tinggal kerja sama dengan apoteker. "Tapi, yang lebih penting bagaimana membuat apotek kita mempunyai kekuatan bersaing," cetus Gideon.

Dia mencontohkan, dengan modal Rp 150 juta mungkin orang bisa membuka apotek sendiri. Tapi, sebagian besar atau sekitar Rp 100 juta dari dana itu akan habis untuk sewa tempat, renovasi, dan perlengkapan lainnya. Yang tersisa untuk stok barang dagangan hanya Rp 50 juta. "Dengan dana segitu, kalau buka apotek sendirian dapat apa?" ujar Gideon.

Masih dengan nada-nada promosi, Gideon membandingkan, jika masuk ke jaringan waralabanya, dengan modal sama, Rp 150 juta-Rp 180 juta, Anda bisa menyetok 5.800 jenis obat. Sebab, kata dia, dengan jaringan waralaba, satu gerai tak harus membeli obat dalam jumlah besar. Pewaralabalah yang bakal membagi-bagikan stok dagangan. "Kalau tanpa jaringan, untuk stok sebanyak itu bisa butuh Rp 600 jutaan," tukasnya.

Kalau strategi Anda pas, omzet Rp 270 juta-Rp 330 juta setiap bulan niscaya akan masuk ke kantong Anda. Dari jumlah itu terwaralaba harus membayar royalty fee 1,2 persen dan dana promosi bersama 0,3 persen.

Biaya cukup besar lain yang mesti ditanggung terwaralaba adalah biaya tenaga kerja. Lantaran buka 24 jam, mitra harus mempekerjakan dua apoteker dan 12 karyawan lain. Pengeluaran besar lain datang dari biaya listrik.